@article{Geofani Milthree Saragih_2022, title={Kajian Filosofis Terhadap Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Dari Perspektif Teori Jhon Austin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU/XVII/2020}, volume={1}, url={https://ejurnal.politeknikpratama.ac.id/index.php/jhpis/article/view/631}, DOI={10.55606/jhpis.v1i4.631}, abstractNote={<p>Menjelang akhir tahun 2019 yang lalu, muncul suatu peristilahan yang asing dikalangan teoritisi maupun praktisi hukum di Indonesia secara umum, yaitu Omnibus Law. Peristilahan tersebut mulai muncul sejak pidato yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam kesempatan pidato di sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 20 Oktober 2021 dalam rangka pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024. Pada intinya, Presiden Jokowi mengajak kerja sama kepada DPR dalam rangka mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja dengan menggunakan metode Omnibus Law. Perkembangan dari penerapan penggunakan metode Omnibus Law ini menjadi polemik, karena tidak dikenal di dalam hukum positif Indonesia. Banyak desakan dari berbagai golongan untuk menolak pemberlakuan UU Cipta Kerja tersebut karena dianggap melanggar hak-hak asasi manusia. namun pada faktanya, undang-undang tersebut tetap berlaku. Beberapa waktu yang lalu, UU Cipta Kerja telah diputus inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVII/2020. Yang pada intinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengarahkan agar pemerintah memperbaiki UU Cipta Kerja selama dua tahun kedepan, dan akan otomatis tidak berlaku apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak ada perubahan. Peneliti akan menganalisis, bagaimana paradigma yang digunakan oleh pemerintah dikaitkan dengan teori Jhon Austin yaitu positif analitis (analytical jurisprudence).</p>}, number={4}, journal={JURNAL HUKUM, POLITIK DAN ILMU SOSIAL}, author={Geofani Milthree Saragih}, year={2022}, month={Nov.}, pages={28–41} }